Berita Untukmu : Negeri Para Penipu
Surat ke-4 dari 12 Rangkaian Surat Untukmu
Oleh: Muh. Andrianto H
Dear Lily,
Dari kekasih yang engkau banggakan.
Lily,
Bagaimanakah keadaanmu, bagaimanakah kabar bunga melatiku? Aku berharap engkau selalu harum menghanagatkan disetiap langkah kakimu. Aku juga berharap engkau menemukan perjalanan terbaik dalam hidupmu. Melewati serangkaian pilu hingga engkau akan menemukan bahagianya hidup.
Aku dengar engkau menyandingkan diri dan bersiap menuju singgasana lengkap dengan manik-manik bunga mawar dikeningmu. Berita itu, aku dengar ketika aku melakukan perjalan sepiku karena aku begitu merana dengan datangnya mega. Aku sisihkan jiwa dan ragaku di pojok kamar, yang hanya ditemani lentera kuning dan kudengar rintik hujan saat datangnya angin itu. Serta aku hisap sebatang puntung rokok dan segelas kopi hitam untuk melegakan dahaganya jiwaku. Aku sadar, bahwa engkau, begitu juga cinta menggolarakan asmaranya akan menyatukan dua insan yang sedang bahagia. Tapi, Lily, kita harus tahu pula bahwa desiran pasir tak selalu membawa intan permata, ia juga membawa badai hingga meluluh lantahkan kota.
Kita musti sadar pula, kita tak mesti harus kecewa dengan dunia. Sebab dunia hanyalah puing puing derita yang musti kita hadapi dengan hati terbuka dan ikhlas. Aku juga pernah berkata kepada engkau, “bahwa cinta kita harus dilepas, diletakkan jauh agar kita bangkit dan berharap bahwa rindu itu ada”. Aku juga pernah berkata pula, “selama kita membuka diri terhadap keterbukaan, akan selalu ada perimbangan-pertimbangan yang melelahkan”. Kata itu aku dapatkan ketika aku melewati rakyat Nuswantara, Lily.
Aku dengan senang hati akan menceritakan kepada engkau, bagaimana sulitnya bertemu dengan mereka. Bukan sulit untuk ditemui, melainkan sulitnya mereka unuk berdialektika. Pertama , ketika aku melewati lembah gurun yang luas, aku lihat dua orang dengan mata cekung berambut hitam sedang bicara. Aku hampiri mereka dan seraya berkata “tuan, adakah air untuk kedagahanku”. Mereka menjawab dengan seksama “ada tuan, silahkan tuan bejalan ke utara, nanti tuan akan menemukan negeri gemah ripah loh jinawi”. Akupun menjawab, “baiklah tuan”.
Setelah aku mendengar jawaban itu, aku melihat matahari berada di kening kepalaku, aku dongakkan kepalaku dan berbisik “Tuhan, tuntun hamba untuk mencari keadilan”.
Selanjutnya aku langkahkan kakiku dengan burung gagak di sebelah kananku. Tak berapa jauh aku langkahkan kakiku, kedua orang tersebut berseru “Hati-hatilah tuan, di negeri itu sudah tak jelas maknanya”.
Desiran pasir, helaan nafas angin serta terpaan hangat sengat mentari, mengiringi setiap jengkal kaki ini. Di ujung cakrawala aku lihat sebongkah emas hijau menjulang tinggi menantang semesta. Dari kanan sampai kiri, dari barat sampai timur. Tak bisa aku bayangkan bahwa negeri ini adalah negeri emas, intan dan berlian. Di ujung perjalananku aku melihat gerbang panjang terpampang, bertuliskan Indonesia.
Kedua, ketika aku tiba di gerbang itu, aku melihat orang-orang berkumpul di pasar-pasar. Pasar yang menyemai keharmonisan dan kasih sayang, menyejukkan dan melegakan untuk dipandang. Aku lihat seorang pedagang bunga berjalan hilir mudik menjajakan dagangannya. Aku hampiri ia, dan lekas aku bicara, “tuan, adakah air untukku dan piaraanku?”. Pedagang itu menjawab, “ini tuan, silahkan minum dengan senang hati”. “kalau boleh tahu tuan bukan dari sini ya”. “iya, tuan, saya dari negeri sebeerang, bagaimana tuan bisa tahu?”. “dari tampilan tuan bisa saya prediksi bahwa tuan bukan dari sini, sebab masyarakat sekitar sini sudah tak mau menengok sejarah mereka, mereka mengubur derita sejarahnya, hingga melupakannya, sangat riskan dan ironis memang, mereka menata budaya dari leluhur-leluhur yang agung, melestarikannya, tapi sekarang generasi muda mereka mengindahkannya dan menggantikannya”.
“begitukah seterlanjurnya tuan?”. “ya, begitulah adanya tuan, asal tuan tahu semua kebiasaan mereka beralih, yang dulunya andap asor, menghormati orang tua, sekarang sudah tidak ada unggah-ungguh terhadap orang tua, ini bisa dicerminkan dari mereka-mereka yang berdiri tegak di aparatus sipil dan dewan perwakilan”. “memangnya kenapa dengan mereka tuan?”. “ mereka yang mengemban tugas itu, adalah mereka yang berkedok dibalik kewibaan jutaan uang untuk melenggang ke kerajaan, mereka mengadopsikan segala cara dengan menafikkan agama, mereka bergelut dengannya hingga mereka melegalkan cara syetan dan mengesampingkan firman Tuhan”. “Bagaimana mereka bisa melenggang ke singgahsana kalau mereka tak mempunyai kompetensi yang mumpuni tuan?”. “itulah, tuan, buruknya sistem demokrasi yang ada di negeri ini, setiap orang yang tak sesuai dengan keahliaannya mampu mulus jalan ke sana dengan catatan mereka di bawa oleh massa yang sepadan”. “kenapa tidak diganti saja tuan?”. “maaf tuan, mengganti sistem tak semudah mengganti baju, harus ada kesadara kolektif diantara rakyatnya hingga akan menumbuhkan pergerakan massa dan terjadi revolusi secaraberkala, kalau tidak adanya sebuah kesadaran mustahil akan bisa”.
“begitulah tuan, gambaran negeri ini, jadi selamat datang di negeri para pecundang yang berlomba memperbaiki negeri tapi lupa akan sejarah dari negerunya”.
Setalah perbincangan dengan penjual bunga itu, aku lanjutnkan perjalananku dengan melewati hamparan sawah dengan riuh-reyah kicauan burung pipit. Sampailah aku di sebuah gubuk reot dikelilingi oleh semak-semak belukar. Aku pandang mentari dan menuliskan surat ini untuk mu,
Aku mengharapkan engkau membalas dengan kepala tegak dan hati terbuka, bahwa demokrasi bukan hanya ajang berlomba mencari rejeki. Melainkan ajang untuk memperbaiki diri sehingga dapat merendahkan diri.
Dan aku berpesan padamu, Lily.
Segeralah engkau untuk membuang semua surat dariku, hapus semua kata-kata manisku dari hatimu. Segeralah membuka hati untuk menerima bahwa aku akan mengembara dan melanjutkan semua demi nama kita.
Dan tak lupa, jangan engkau buang melati yang ada dipekaranganmu, semailah ia, rawatlah dengan sepenuh hati, hingga ia nanti akan tumbuh mengisi hari-harimu.
Mungkin sampai disini aku menceritakan tulisan lusuh ini untukmu, semoga engkau dapat membalasnya dengar mawar yang harum. Sehingga engkau dapat memberikanku sebuah harapan untuk apa aku bertahan.
Salam dari kekasihmu
0 Comments