F. W. NIETZSCHE : SABDA ZARASTHUSTRA
Oleh : M.A.H
Hal
pertama yang perlu kita pahami sebelum kita membaca buku klasik karya F.W.
Nietzsche yang berjudul Thus Spoke
Zarasthustra atau terjemahan Bahasa Indonesianya Sabda Zarasthustra ialah
menyingkirkan dan menjauhkan jauh-jauh domain moralitas dan segala bentuk
konsep-konsep yang selama ini mengelilingi kita, karena buku yang tebalnya
kurang lebih 437 halaman itu. Kita diajak berpetualang membelah hutan belantara
dan diajak berpikir agak mendalam dan serius tentang makna hidup.
Tulisan
dalam buku ini bergaya aporistik atau berisi tentang sepenggal-penggal kisah
yang tak runtut dan baku. Buku terdiri dari empat bagian, Bagian Pertama Prolog (1) Zarasthustra turun dari
kesunyian dan mengumumkan bahwa Tuhan sudah mati dan mengkhotbahkan penerusnya,
sang Manusia Unggul. Dalam perjalanan untuk mengumumkan hal tersebut, ia
singgah di sebuah pasar dan mengkhotbahkan kepada penghuni pasar, beginilah teksnya :
“Si gila. Belum dengarkah engkau si gila
itu yang menyalakan lentera di pagi cerah, berlarian ke pasar sambal berterial-teriak
tiada henti: “Kucari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”—ketika banyak orang yang tidak
percaya pada Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu menjadi tertawaan. “Apakahdia
ini orang yang hilang?” kata seseorang, “apakah dia tersesat seperti anak-anak?”
kata yang lain. “Ataukah ia sembunyi? Apa ia ketakutan kepada kami? Apakah ia baru saja melakukan pelayaran? Atau bermigrasi?” demikian
mereka berteriak dan tertawa. Si gila ini melompat ke tengah mereka lantas
menatap tajam wajah mereka. Kita sudah
bunuh dia –kau dan aku. Kita semua pembunuhnya, tapi bagaimana kita lakukan
ini? Bagaimana bisa kita tenggal lautan? Siapa yang memberi busa untuk menghapus
untuk menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita lepaskan
ikatan bumi dari matahari? Ke mana bumi
ini akan bergerak? Jauh dari semua matahari? Tidakkah kita ter-ombang – ambing selama-lamanya?
Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua penjuru? Adakah atas dan bawah? Tak
kita rasakankah dengus napas ruang kosong? Belum sudahkah ia mendingin? Bukankah
malam terus-menerus semakin meliputi kita? Tak haruskah lentera dinyalakan di
pagi hari? Belum dengarkah kita kabar dari penggali lahat uang sendang
menguburkan Tuhan? Belum terbaukah oleh kita membusuknya tubuh Tuhan? –dewa-dewa
pun membusuk. Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimana
kita, pembunuh seagal pembunuhan, menenangkan diri kita? Ia yang paling suci
dan berkuasa dari semua yang ada di bumi telah timpah darahnya sampai mati oleh
pisau kita – siapa yang hendak menghapu darah ini dari kita? Dengan air apa
bisa kita basuh noda kita? Upacara pertobatan apa, permainan sacral apa yang
perlu kita ciptakan? Tidakkah kedahsyatan perbuatan ini terlampau besar bagi
kita? Tidak haruskah diri kita sendiri menjadi dewa-dewa sekedar tampak pantas
melakukannya? Tak pernah ada perbutan yang lebih besar – dan barang siapa
dilahirkan setelah kita, lantaran perbuatan ini ia akan menjadi bagian sejarah
yang lebih tinggi dari seluruh sejarah yang sudah ada…."
Setelah
ia mengutarakan isi khotbahnya kepada orang-orang yang berada di pasar, dengan
muram ia mengatakan “Aku terlau dini untuk mengatakannya, waktuku belum tiba….”.
Selanjutnya ia meninggalkan orang-orang di pasar tersebut, dia mulai
menjelaskan tentang manusia unggul. Mendedahkan bahwa manusia itu seperti sang acrobat
berjalan di atas seutas tali yang dijalarkan dari satu sisi ke sisi lainnya. Hidup
manusia itu angker, “banyak hal demikian angker, namun tak ada yang lebih
angker ketimbang manusia”. Ia harus siap dan sigap dalam menghadapi realita kehidupan
yang penuh ketertakdugaan.
Bagian
Kedua (2) lebih beragam daripada bagian kesatu, bagian kedua ini di isi oleh 22
aforisme yang kesemua bertemakan moralitas, manusia agung dan mengenai
renungan-renungan tentang sifat-sifat kehendak, yang di tengahnya menohok
Zarasthustra sampai terpana ketika ia menginsyafi implikasi dari pada
perulangan yang abadi.
Yang
menarik dari sabda Zarathustra ialah tentang tiga metamorphosis manusia. Metamorphosis
atau perubahan manusia dari waktu ke-waktu adalah hal yang niscaya terjadi pada
setiap manusia. Perubahan-perubahan ini merupakan tanda dari keteraturan alam
untuk perihal seleksi alam. Dari sabda Zarathustra dapat diperoleh 3 metamorfosis,
yaitu, satu perubahan jadi unta, kedua menjadi singa dan ketiga menjadi seorang
bayi. Pertama menjadi unta, pertama-tama manusia akan senantiasa meng-iya-kan
apa yang terjadi dan menerima segala bentuk beban apapun yang bisa ia raih,
bisa itu meng-iya-kan segala bentuk pekerjaan ataupun segala bentuk penerimaan
bantuan. Karena ia masih bermetamorfosis jadi unta, segalanya di tanggung dan
di panggul di pundaknya.
Kemudian
yang kedua, ia berubah menjadi singa, setelah hal pertama di lalui dengan penuh
keringat dan lelah, saatnya ia bermetamorfosis jadi singa. Singa yang garang
dan siap untuk melahap apa saja. Si singa ini menandakan ia siap dan mau apa inginkan.
Dengan kata lain ia mampu membuat suatu kuasa untuk menyalurkan keinginannya. Dan
dengan kuasa si raja singa ia menjadi penguasa para bawahannya.
Selanjutnya
metamorphosis ketiga ialah seoarang anak kecil atau bayi. Jika yang kedua ia
bebas dan berkuasa untuk menguasai apa yang ada, maka yang terakhir ia seorang
bayi. Bayi yang masih lugu, tak berdaya, dan tak bisa berkuasa. Artinya seorang
bayi hanya bisa dan mampu menguyah dan melahap makanan hanya seperlunya, tidak
semua makanan bisa ia makan, dan tidak semua minuman bisa ia minum. Dengan begitu
penggambaran seorang bayi ialah manifestasi dari manusia yang sudah mampu
menge-rem apa yang menjadi kebutuhannya.
Lanjut
ke Bagian Ketiga (3) pada bagian ketiga ini, penggambaran dari perjalan
Zarathustra yang meninggalkan muridnya. Dalam perjalan pulangnya menuju goa, ia
didera oleh depresi yang menguasainya. Pada bab ini menggarmbarkan dengan nada
sinis yang seolah-olah manusia mampu menghianati dan lari dari rasa
bersalahnya. Rasa yang menghantui setiap manusia yang merasa punya hutang
terhadap sebuah perbuatan, maka untuk menghilangkan dan menghancurkannya ia
harus melawan dengan pedang dan menghancurkannya berkeping-keping. Bisa dikatakan
kata IYA pada kehidupan, apapun yang terjadi dan apapun yang menimpa harus dihapai
dengan lapang hati penuh dengan keberanian.
Bagian Keempat (4) pada bagian terakhir ini berisi tentang syair-syair yang menandakan
ia harus memulai petualangannya kembali. Ia didatangi oleh orang-orang alim dan
menjadi insyaf akan ketidaksempurnaan mereka. Pada kesimpulan pada bagian ini
ia mendapat panggilan untuk menjelajah dunia kembali, dan dalam bagian
selanjutnya ia mengumpulkan sejumlah besar pengikutnya, kepada siapa akan
berkhotbah. Dalam bagian terakhir ia mati, meskipun Nietszche tak dapat
memutuskan dengan cara apa ia mati…
Sumber
:
Zarathustra
Friedrich Nietzsche : Also Sprach
Zarathustra Alfred Kroner derlag, Leipzig & Thus Spoke Zarathustra. Penguin
Books 1977
Penerjemah
: H.B. Jassin, Ari Wijaya, Hartono Hadikusumo
Penerbit
: Narasi – Pustaka Promethea, 2015
0 Comments