JURGEN HABERMAS: Agama Dalam Pemikiran Habermas

JURGEN HABERMAS: Agama Dalam Pemikiran Habermas

Oleh : M.A.H

Dalam masa sekarang ini, tentunya persingungan antara ruang privat dan ruang publik sulit untuk dihindari dan di beri jarak antar keduanya. Persinggungan diantara keduanya tak lebih dari distorsi yang tidak sejalan antara keduanya. Distorsi-distorsi antara ruang privat dan ruang publik, sedikit banyak menyebabkan kekacauan yang dapat menyebabkan keretakan antar domain tersebut. 

Dewasa ini, ranah privat atau pribadi lebih kita kenal sebagai ranah yang tidak boleh ada yang tahu selain diri kita. Ranah ini biasa kita sebut dengan ranah kepercayaan, pegangan, atau iman. Atau lebih terkenalnya ialah ranah agama. Agama yang dalam masyarakat barat kini menyebutnya sebagai domain privatisasi dan domain yang hanya bisa diakses oleh pribadi, tak dipungkiri lagi ranah ini selalu bersinggungan dengan ranah publik. Ranah yang mana semua orang dapat mengaksesnya dan menikmati secara masal. 

Jurgen Habermas seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan Teori Kritis-nya tersebut mempunyai cara tersendiri dalam memandang agama di ruang publik. Yang mana agama sebagai intisari kereligiusan manusia dipandang sebagai semangat dalam berkomunikasi dan bersosial. 

Dalam pandangan Jurgen Habermas, ia memandang mengenai agama berkembang dalam tiga fase:
1. Agama sebagai bagian dari elemen Lebenswelt yang harus dilewati atau dilampaui.
2. Agama sebagai bagian dari Good Life yang harus diperhitungkan oleh liberalism politik.
3. Agama sebagai sistem pandangan dunia total berhadapan dengan sekularitas.

Tiga tahapan di atas, marilah kita uraikan sebagai berikut:

A. Tahap Pertama: Agama sebagai Elemen “Lebenswelt”.

Pada fase ini, Habermas merespon perkembangan politik dan sosial yang sedang terjadi di dunia, fase ini terjadi sekitar tahun 1970-an. Teori-teori sosial masa itu meyakini bahwa proses sekularisasi akan terus berjalan hingga suatu saat nanti agama akan lenyap dari kehidupan manusia. Habermas berasumsi bahwa dengan perkembangan  masyarakat demokratis modern, fungsi agama dalam menyuburkan integrase sosial akan digantikan oleh rasio komunikatif sekuler.

Ia menulis: “Fungsi ekspresif  dan integrasi sosial yang sudah sekian lama diprakarsai oleh otoritas Yang Sakral akan digantikan oleh otoritas dari konsensus-konsensus yang tiap-tiap kali diupayakan”. Dalam tahap ini, Habermas sangat yakin bahawa integrase sosial tidak lagi bergantung pada agama, melainkan hasil komunikasi dan kesepakatan. 

Ide yang mendasari dalam teori komunikatifnya itu ialah tindakan yang menyatakan bahwa para individu bertindak secara komunikatif untuk mencapai persetujuan-persetujuan atau konsensus-konsensus tertentu. Dan untuk mencapai persetujuan tersebut mereka menggunakan argument rasional dan hanya menggunakan norma-norma yang telah disetujui oleh yang bersangkutan yang boleh dianggap legitim. 

Pada aras ini, Habermas menilai  agama adalah kran tertutup terhadap tindakan komunikatif, karena tidak membiarkan penganutnya bebas berdiskusi dengan pengandain-pengandaian rasional, bahkan agama sudah melengkapi pengikutnya dengan petunjuk yang jelas mengenai apa yang hendak dicapai dalam diskursus.
 
Oleh karena-nya menurut Habermas agama sebagai sistem tertutup dalam perilaku komunikatif, akhirnya agama dipandang sebagai sebuah fase masa lampau yang harus diatasi.

B. Tahap Kedua: Agama sebagai Good Life.

Keyakinan Habermas pada kekuatan rasionalitas modern, yang mana akan menyingkirkan peran agama mengalami perubahan. Perubahan ini disebabkan oleh teori tentang rasionalitas terlalu sempit karena bias rasio saintisme (positivism). Pada tahap ini Hebermas menggantikan harapan akan “hilangnya peran agama” dengan apa yang disebut “privatisasi”. Dalam beberapa bukunya Habermas mengingatkan pembacanya bahwa agama adalah kebutuhan eksistensial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Menurut Habermas peran agama dapat menjadikan kehidupan menuju yang baik (Good Life), ini selaras dengan apa yang diyakini dan dideliberasikan secara politik di ranah publik apabila komitmen mereka pada prinsip-prinsip leberalisme muncul dari keyakinan yang mereka anut. Pada tahap ini berpendapat  bahwa agama sebagai good life partikular harus memodernisasi dirinya. 

Pemodernisasi ini dimaksudkan agar orang-orang beragama tidak boleh membawa keyakinan-keyakinan mereka untuk urusan politik. Dengan kata lain secara periodik orang-orang beragama dieksklusi agar menanggalkan agama partikularnya dari partisipasi dalam kehidupan politik.
 
C. Tahap Ketiga: Agama Sebagai “Weltanschaung”.

Perubahan cara pandang Habermas mengenai peran agama mulai terlihat pada dekade 2000-an, pada dekade itu Habermas mulai mengusung ide “kepublikan” sebagai caranya untuk melihat peran agama sebagai kebutuhan mendasar manusia. Dengan gagasan kepublikan itulah Habermas menekankan bahwa agama tidak bisa dibatasi dalam ruang privat. Sebaliknya, agama harus megintervensi ruang public dengan memanfaatkan tradisi-tradisinya untuk menghadirkan intuisi-intuisi moralnya. 

Dalam beberapa ceramahnya ia, menunjukkan bahwa sekulerisasi sudah kehilangan kekuatan penjelasnya dan bahwa agama dan dunia sekuler saat ini sudah saatnya berada dalam hubungan saling membutuhkan satu sama lain.
Dan juga, ia berpendapat bahwa agama terbukti sebagai sumber moral penting karena orang yang beriman mendapat akses untuk menjawab tentang persoalan moral.
 
Disisi lain Hebermas menekankan kenyataan bahwa keputusan-keputusan yang diambil secara rasional selalu bergantung pada keyakinan-keyakinan etis-religius. Kesadaran religious secara hakiki berkaitan erat dengan proses kontinu suatu kehidupan, baik individu maupun kelompok. Pertalian erat antara keyakinan religious dan individu itulah yang menyebabkan Habermas merubah cara pandangnya terhadapa agama. Dan dari situlah sumber-sumber kereligiusitasan memainkan perannya guna menunjang proses demokrasi dan cara berkomunikasi.

Selain itu, mengingat hakikatnya yang khusus, agama dapat diharapkan sebagai sumber motivasi yang kuat. Habermas mengatakan “agama-agama itu merupakan pandangan dunia, bukan sekedar sistem nilai. Karena itu dalam agama ditemukan isi kognitif  dan kekuatan motivasi yang tidak ada dalam pandangan dunia yang profane”. 

Habermas sendiri menghendaki perlunya saling belajar antara masyakarat beriman dan tidak beriman. Proses saling belajar tersebut antara lain, (1) warga beriman dituntut untuk mengembangkan sikap epistemic (rasional) guna berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Mereka berhasil apabila mampu menghubungkan antara keyakinan mereka denga keyakinan yang lain dan secara reflektif tanpa mengorbankan keyakinan imannya. (2) warga beriman harus belajar untuk menyesuaikan diri terhadap otoritas sains sebagai pemegang monopoli pengetahuan sekuler. Proses belajar ini berhasil apabila hubungan antara isi ajaran agamanya tidak bertentangan pengetahuan sekuler. (3) warga beriman juga harus setuju dengan premis-premis hukum modern sebagai dasar hukum modern dan berlaku dalam dunia politik adalah argument-argument sekuler. Proses ini berhasil apabila warga beragama mampu menggabungkan antara prinsip kesetaraan individu dan prinsip moral universal kedalam doktrin komprehensifnya.



Sumber : AGAMA DALAM RUANG PUBLIK
Gusti A. B. Menoh
Penerbit PT. KANISIUS, 2015
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman, DI. Yogyakarta.

Post a Comment

0 Comments