Kalimatnya di awali dengan kata salam pembuka yang hangat dan menyejukkan. Saat ia menuliskannya ia berada di bawah pohon, dengan meja kecil dan kursi duduk, yang di sampingnya sebuah lilin putih dengan secercah sinar yang meneranginya.
Harinya ialah hari sabtu sore, ketika mentari akan turun ke peraduan. Ia memandangnya dan mengagumkan keindahannya. Dan ia menuliskan sebuah kisah untuk Putri Dulcena dari Toboso.
Muais bin Hamzah namanya, atau biasa dipanggil Uais, seorang pejalan dari kelima bersaudara dari keluarga miskin di marganya. Ia tumbuh dan besar di desa, dengan adat istiadat yang jauh dari kata perkotaan.
Dari kelima saudaranya, ia adalah nomor terakhir. Yang lahir pada bulan Agustus, pada saat musim berganti. Ibunya ialah seorang anggota jemaat yang taat pada iman relijigiusnya, ayahnya ialah seorang pedagang yang taat beribadah pula.
Saat kecil, ia dibesarkan dan diperuntukkan untuk menjadi seorang pedagang. Yang mana bila nanti ayahnya sudah tak mampu lagi menopang roda dan menyangga bahu rumah tangganya, ia dapat menggantikannya.
Semenjak dalam rahim ibunya, ia selalu disenandungkan lagu lagu melankolis. Ia selalu mendengarkan syair-syair Gibran, dengan mata terpejam dan hati terbuka.
Gibran menurutnya ialah duri pada seorang penenun, dan duri bagi seorang pecinta. Ia berguna menuntaskan apa yang di rajut sekaligus memungkaskan apa yang di mulai.
Dengan tulisan Kahlil Gibran, Muais menyelaraskan pikiran dan hatinya untuk mengimani apa yang ia percaya dan menenun sebait kata untuk Dulcena.
Ia, Dulcena dari Toboso, yang dengan pandangan matanya mampu merubuhkan pendirian sekaligus meremukkan garis pertahanan seorang laki laki. Dulcena, seorang putri keluarga bangsawan yang mempunyai kekuasaan menggerakkan orang-orang buangan dan mampu memerintahkan kuda berjalan dengan pengemudinya untuk kepentingannya.
Saat pertama kali bertemu, Muais. Dengan keinginan batinnya langsung meratap kagum kepadanya. Ia melihat bahwa semesta berada dihadapannya. Untuk memulainya mulailah ia menuliskan selembar kata yang akan mengantarkan curahan hatinya.
"Untuk Dulcena"
Dulcena La Mancha,
Salam hangatku kepadamu, salam rinduku kepada kalbumu .
Dari Muais bin Hamzah
Kamis sore, aku berjalan ke arah selatan di dekat gunung, aku melihat intan permata sedang berjalan mendekat. Aku tahu bahwa ia bukanlah intan biasa, yang dengan mudahnya permatanya hilang.
Ku yakin ia adalah seorang intan permata yang dengan kesempurnaan tubuh dan keluhuran budinya mampu memikat orang-orang untuk tertarik kepadanya.
Dan keyakinanku tidak kuragukan, intan itu ialah engkau, Dulcena dari Toboso. Seorang putri dengan mata anggun, dengan perangai elok, dan tubuh yang semampai. Keluhuran budi yang mulia, membuatmu menjadi putri dari segala putri di dunia.
Setelah aku melihatmu untuk pertama kalinya, hatiku langsung menuliskan surat ini kepadamu. Surat yang dengannya aku mengantarkan pesan lewat hati. Dengan surat inilah aku menerangkan kekagumanku kepadamu.
Ketakjubanku seperti saat pertama kali Zulaikha melihat Yusuf dan saat Qays kehilangan kesadaran mencintai Layla seperti itulah aku mengagumimu.
Tak hanya sebatas itu, aku juga membawa penglihatanku yang sudah aku lalui untuk kuputar putar lagi dalam mimpiku. Ku impikan beribu ribu kali saat pertama kali aku melihatmu. Ku ulangi dan ku ulangi lagi bayangan2 yang sudah berlalu seperti masih hangat masih terjadi. Ku sadari ketika seorang pemulung menemukan sebuah permata yang elok, ia pasti akan mengingat dan mengenangnya bahkan akan memilikinya seutuhnya.
Permata yang dari pancarannya memancarkan ketenangan dan kesejukan hati, menebarkan benih benih kedamaian akan sangat berharga dan bernilai daripada nyawa seorang manusia.
Dengan itulah, aku menuliskan sebuah surat yang darinya aku memohon dengan sangat, agar engkau mau menemui ku esok sore di taman.
Semoga engkau selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa, dan selalu diberikan kesehatan dan kekuatan hati untuk menyaksikan beberapa kesaksian hidup yang memilukan.
Semoga dengan datang surat ini engkau mengerti bahwa seekor kupu kupu selalu mencari kelopak bunga untuk menghisap sari madunya.
Salamku untukmu.
Dari
Muais Bin Hamzah.
0 Comments