New Normal : Antara Antisipasi dan Ketakberdayaan
Setiap generasi tak ubahnya akan terus berubah menuju kebaikan, entah bagaimana ia beradaptasi dengan tata kelola lingkungan dan alam. Kebaikan yang senantiasa melaju tak akan mungkin dapat di bendung manakala kemajemukan, heterogenitas dan pluralitas menjadi domain masyarakat. Kemajemukan yang mengandaikan tatanan kesetaraan yang sama pada setiap lini ialah perihal yang patut menjadi standar dalam bermasyarakat.
Kesetaraan dalam hal hak hak dasar menjadikan manusia sebagai pribadi yang bebas untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Tapi, dengan hambatan yang tidak bisa di hindari dan nyatanya harus dihadapi hak-hak dasar manusia terpaksa direduksi dalam domain privatisasi.
Anjuran lembaga yang legitim untuk membendung arus sosialisi, berkerumun, dan bersilaturahmi, mengajarkan manusia untuk berdiam diri, meresapi, dan menyadari setiap di balik hingar bingar terdapat suatu sisi beřserah diri.
Berserah diri, menyerahkan hal ihwal persoalan yang di luar kehendak manusia menjadi prasyarat murni akan kehadiran Yang Maha Kekal. Yang menguasai dan menakdirkn seetiap titah manusia untuk saling menghormati, mengayomi dan mengasihi antar sesama.
Bencana seperti halnya covid 19, menandakan suatu ke-alpa-an manusia terhadap ketidak mampuannya menangani berbagai persoalan. Manusia dibuatnya tergopoh-gopoh menghadapinya, sehingga mau tak mau harus mencetuskan solusi ketahanan imun dengan Slogan New Normal.
New Normal, disinyalir mampu dan bisa setidaknya mengatasi arus pertumbuhan virus yang kurang bisa di kendalikan oleh manusia
New Normal dalam kacamata para sinisme, dianggap sebagai alat penguasa untuk menjalankan roda perekonomian, yang sebelumnya lesu karena penerapan privatisasi masyarakat. Masyarakat dipaksa dan di cecar dengan arus wacana bahaya akan corona, dengan perkembangan arus wacana yang selalu dan sering muncul di media massa membuat masyarakat terjustifikasi bahwa virus corona ialah pembunuhnya.
Dengan tergelontorkannya wacana virus corona menjadi salah satu penyebab dan pemantik kematian menjadikan masyarakat takut terhadap virus tersebut. Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebih dapat menurunkan daya ketahanan tubuh terhadap serangan berbagai penyakit.
Kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan momok bisu untuk menghadapi realitas.
Menghindari dengan apa yang terjadi ialah suatu pengingkaran terhadap kenyataan. Kenyataan yang senyata nyatanya harus dihadapi dengan gagah berani dan tanpa pandang bulu disingkirkan dan dinafikkan karena ketakberaniaan diri.
Ketakberanian diri menghadapi realitas membuat ketakberdayaan merubah keadaan bahkan tak berani merubah nasib diri sendiri menuju ke yang terbaik.
Ketakberdayaan jugalah yang membuat seseorang menjadi mandeg dan tak bisa lepas dari keterpurukan nasib.
M.A.H
0 Comments