Tragedi kemanusian dalam kehidupan manusia dapat berlangsung dimana saja. Tragedi kemanusiaan di masa lalu disertai dengan kekerasan fisik masih menorehkan ingatan sosial yang masih terngiang sampai saat ini. Kekerasan yang dilakukan antar sesama manusia berujung pada pelanggaran HAM. Setiap kejadian pelanggaran HAM menuntu sebuah peradilan dan perdamaian, dimana amnesti dan rekonsiliasi menjadi penyelesaiannya. Peristiwa 65-66 menjadi bukti bahwa penegakan HAM di Indonesia masih menjadi tanda tanya.
Amnesti dan Rekonsiliasi menjadi sangat penting unuk meninjau kembali pelanggaran HAM masa lalu,sebagai upaya pemerintah menegakkan hukum dengan adil. Korban, keluarga korban atau pelaku akan sulit berbaur dengan masyarakat dan hidup normal kalau tidak ada proses penegakkan hukum. Amnesti dan rekonsiliasi dalam praktiknya sulit dilaksanakan karena berbenturan dengan beberapa orang yang mendukung maupun tidak mendukung hal tersebut. Hal ini berakibat pada ketidakpastian menggelar proses amnesti dan rekonsiliasi.
Amnesti adalah suatu tindakan untuk melupakan sebuah kejahatan. Seseorang yang telah diberi jaminan amnesti tidak akan dituntut atas suatu kejahatan yang tercakup dalam amnesti. Efek hukum sebuah amnesti ialah memandang sebuah kejahatan seakan tak pernah terjadi dan menghapus kejahatan seseorang dan tanggungjawab sosial. Sebab gugatan pengadilan tidak akan dilakukan. Amnesti dijamin baik secara kolektif (amnesti umum) maupun atas permintaan perorangan (Ardiastro, 2007: 163).
Rekonsiliasi adalah pengungkapan kebenaran dan keadilan, yang biasanya ada pemberian grasi dan kompensasi dari pemerintah terhadap pihak yang bersalah. Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan misalnya berlaku bebas dari hukuman bagi pelaku, sehingga biasanya keluarga korban sulit menerima, dan kemudian akan menciptakan permasalahan ketidakadilan.
Untuk mengatasi dampak pelanggaran HAM, tidak ada aturan hukum yang mampu mengatasi pelanggaran tersebut. Meskipun dengan proses Amnesti dan Rekonsiliasi telah dilakukan kisah tragedi kemanusiaan Kisah tragedi kemanusiaan tidak hanya berhenti pada apa yang terjadi, namun juga menghasilkan bermacam-macam akibat dari tragedi tersebut karena sistem peradilan tidak mampu mengobati dendam dan rasa bersalah. Kedamaian tidak mampu dilaksanakan hanya dalam tataran sistem sosial, namun memerlukan upaya perubahan sikap dalam setiap diri manusia.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencapai kedamaian baik dari korban maupun pelaku ialah membentuk memahami jati diri manusia.
JATIDIRI MANUSIA
Pengertian jatidiri manusia dalam pandangan Hardono Hadi, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, menjadi Human Person. Pemilihan kata 'jatidiri' menjadi 'human person' karena jatidiri memuat tiga aspek, yaitu pribadi, identitas diri dan keunikan diri. Jatidiri manusia diartikan sebagai human person, bukan self atau identity. Hal ini berarti bahwa jatidiri manusia mendalami hakikat manusia secara utuh, bukan hanya berkaitan dengan diri, atau identitas.
Jatidiri manusia lebih tepat disebut human person, karena menunjuk pada hakikat manusia atau martabat manusia. Jatidiri manusia mengandaikan adanya pribadi manusia yang unik. Keunikan manusia karena manusia terdiri dari badan jiwa. Manusia mampu menentukan pilihannya sendiri dengan jiwa dan pikirannya. Manusia sebagai pribadi yang unik sekaligus memiliki identitas diri di dalam lingkungannya, yang juga dihadapkan pada persoalan-persoalan sebagai manusia.
JATIDIRI MANUSIA DALAM FILSAFAT HANNAH ARENDT
Jatidiri manusia memiliki beberapa aspek, antara lain: aspek unitas kompleksitas, aspek historisitas dan aspek identitas diri. Aspek unitas mengandaikan adanya kesatuan utuh yang mempunyai kesatuan ganda. Jatidiri mengandaikan adanya kesatuan yang utuh di dalam diri manusia. Kesatuan ini begitu mutlak sehingga terasa begitu jelas ketunggalan di dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dibagi-bagi (Hadi, 1996: 25). Aspek unitas-kompleksitas di dalam filsafat tindakan Arendt terdapat pada pemahaman bahwa manusia terdiri dari jiwa dan pikiran.
Jiwa mendukung pikiran dalam membentuk kepribadian manusia. Manusia di dalam berpikir senantiasa memerlukan kehendak dan pertimbangan, di dalam kesatuan kemampu-an mental manusia. Berpikir memang bukan suatu hal yang bertujuan ultim, namun dengan berpikir manusia mampu berdialog dengan diri dan suara batin.
Tujuan berpikir bukan untuk mendapatkan pengetahuan, kebijaksanaan, jawaban dari teka-teki alam semesta, atau mendapatkan kekuasaan. Berpikir adalah aktivitas mental yang melibatkan dialog antara diri dengan suara batin, di mana keduanya saling bertentangan satu sama lain. Tujuan berpikir adalah menemukan keseimbangan dan kedamaian di dalam diri manusia. Ketika manusia telah menemukan kedamaian di dalam dirinya, manusia juga harus berhadapan dengan kehendak yang dimiliki.
Manusia dalam menemukan keseimbangan antara berpikir dan kehendak, memerlukan pertimbangan. Pertimbangan merupakan kemampuan mental manusia untuk menilai masa lalu, terutama ketika individu hidup di bawah kekuasaan otoriter. Pertimbangan, pada dasarnya merupakan kemampuan manusia dalam menilai berdasarkan pada sudut pandang orang lain dan lingkungan sekitar. Pertimbangan akan diterapkan berbeda ketika kehidupan seseorang di bawah kekua-saan otoriter. Pertimbangan mempersoalkan dua hal. Pertama, bagaimana tanggung jawab personal di bawah sistem kekuasaan otoriter. Kedua, bagaimana independensi manusia jika tidak didukung oleh hukum dan opini publik.
Analisis Arendt dalam kasus tersebut ialah menekankan pada aktivitas imanjinasi. hal ini bahwa dengan berimajinasi Arendt mau mengatakan dengan kemampuan manusia untuk berimajinasi mau menunjukkan untuk memperoleh suatu pandangan dari sisi tertentu.
Imajinasi hanya pedoman batin yang kita miliki. Kemampuan manusia selain imajinasi adalah kemampuan mengampuni. Arendt menjelaskan bahwa pengampunan mengikuti pertimbangan. Pengampunan tidak dapat disamakan dengan keadilan, namun kemurahan hati (Arendt, 1971: 296). Kemampuan mental manusia diharapkan mampu mengatasi kejahatan banal, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan enteng dan dangkal. Pemahaman berdasarkan aspek-aspek kemampuan mental (berpikir, kehendak, pertimbangan) yang matang, mampu membentuk jatidiri manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Setiap manusia akan mampu memahami dirinya sen-diri dalam satu kesatuan yang utuh. Tindakan yang dilakukan setiap pribadi adalah tindakan disertai dengan kesadaran tinggi dan bertanggung jawab.
0 Comments