Judul : Demokrasi dan Kedaruratan : Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : CV. Marjin Kiri, Regensi Melati Mas A9/10, Serpong, Tangerang Selatan 15323
Cetakan pertama, April 2019
Xxx + 326 hlm, 14 x 20,3 cm
ISBN: 978-979-1260-86-2
Sebelum membahas tentang sumbangan atau pemikiran Giorgio Agamben tentang Demokrasi dan Kedaruratan. Sebagaimana tertera di atas, buku yang membahas tulisan dan telaah Giorgio Agamben ini, di tulis oleh Agus Sudibyo. Seorang yang bergelut di bidang penyiaran khususnya dibidang pers, sekarang ia menjadi Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negri.
Agus sendiri lahir tanggal 8 Juni 1974, di Malang. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atasnya, ia melanjutkan ke jenjang S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM (1992-1998). Lalu ia mengambil studi lanjutan Magister di STF Driyakarya Jakarta. Selanjutnya mengmabil Program Doktoralnya di almamater yang sama, dengan Diertasi Normalisasi Status Darurat Sebagai Potensialitas dalam Negara Demokrasi: Telaah Kritis Atas Pemikiran Giorgio Agamben.
Pada 2019 dia menerbitkan buku yang berjudul “Demokrasi dan Kedaruratan : Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben”. Buku tersebut merupakan saduran atau implentasi dari Disertasinya untuk khalayak umum. Dalam buku tersebut kita mampu mengambil beberapa pelajaran bahwa dalam Negara Demokrasi tak ubahnya sebagai kepanjangan dari ototarianisme.
Melalui Giorgio Agamben inilah, Agus mendedah, persoalan-persolan yang relevansinya bisa ditarik dari teori Giorgio Agamben. Teori tentang Kekuasaan-Berdaulat, Biopolitik, Biological life, dan Homo Sacer. Dengan teori itulah Agus menarik benang panjang dan merangkum menjadi satu pemahaman untuk diambil relevansi teori kritis Agamben dengan situasi Indonesia pasca 65.
Seperti halnya, Homo Sacer yang menjadi kunci pemikiran Giorgio Agamben, menjadi manusia yang senantiasa terdepresi, terrepresi dan terpinggirkan, dari rezim penguasa. Tesis yang diajukan Giorgia Agamben ialah, manusia yang mematuhi hukum sebagaimana ia tunduk pada hukum hukum tersebut, tetapi hukum mengabaikannya dan menelantarkannya. Ini sama halnya dengan warga negara yang terinklusi sekaligus tereksklusi secara bersamaan. Ia mempunyai status sebagai warga negara yang mempunyai hak mendapatkan perlidungan dari negara setelah ia menjalankan kewajibannya. Tetapi setelah ia menjalankan kewajibannya, ia terekslusi dan menjadi Homo Sacer. Warga negara yang terkena paparan kekerasan, represi secara psikologi dan fisik. Dalam hal Homo Sacer inilah, negara absen dengan tugasnya, negara seolah-olah tutup mulut dan mengikat tangan dengan kejadian tersebut.
Dengan absennya negara dalam kemelut yang terjadi menjadikan hukum tak bekerja. Dengan tidak bekerjanya hukum, maka terjadilah kekosongan hukum yang menghalalkan segala cara untuk dilakukakn. Cara cara halal yang tidak sesuai dengan ajaran etika moral berdemokrasi inilah, akan menimbulkan suatu perselisihan, permusuhan, perkelahian diantara warga negara. Perkelahian antar warga negara akan menimbulkan kekacauan yang tak lebih dan kurang menimbulkan dampak secara keseluruhan. Dampak yang massive, dan ketegangan antar warga yang tidak dikendalikan dengan serius akan menimbulkan kedaruratan.
Kedaruratan dimaksud ialah kedarutan kekacauan, dengan kedaruratan kekacauan di akar rumput, negara sebagai penguasa yang menyetrilkan masalah-masalah di tempat berkuasanya. Akan mengambil tindakan darurat militer, kalau kekacauan itu sudah tersebar diberbagai wilayah.
Tesis yang diajukan Giorgio Agamben tentang Kekuasan-berdaulat, mengumandangkan manusia di bagi menjadi beberapa sub. Pertama, manusia sebagai komunitas alamiah (hidup alamiah), kedua, manusia sebagai bios/ biopolitik, ketiga manusia sebagai komunita telanjang, keempat, manusia sebga Homo Sacer. Sub-sub yang telah dijabarkan oleh Agamben tersebut, tidak bisa dilepaskan dari peran serta dan keikutcampuran Negara sebagai Kekuasaan-Berdaulat.
Dari pandangan Agamben, Negara ialah kekuatan super yang dapat menyerang dan menerobos secara komprehensif di setiap makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Negara mempunyai andil besar dalam menentukan hidup warganya. Ia menyerobot hak hak privat yang menjadi hak alami manusia. Dengan terserobotnya hak dasar warga negara, Negara dengan mudah mengatur, merepresi, bahkan menggunakan kekerasan dalam menjalankan pembeneran sesuai kaidah baku, padahal kekeras tidak dibenarkan di dalam hukum.
Acap kali, dengan Kekuasaan-Berdaulatnya, Negara absen sebagai penengah dan penegak hukum di tengah konflik. Negara, dengan sengaja atau entah dengan tekanan pihak mayoritas sebagai penegak yang seharusnya menampilkan hukum secara adil dan pandang bulu sekaligus berimbang, malah mengesampingkan hal tersebut. Terkadanga Negara mengampil posisi, bersebrangan dengan hukum. Negara mengambil posisi utilirarian, yaitu mengorbankan yang sedikit dengan kebahagiaan yang banyak. Sontak ini, bertentangan dengan hukum, yang mengedepankan keberimbangan, dan keadilan. Negara seolah-olah tidak berdaya mendapat tekanan ataupun masukan yang bertujuan kepada mayoritas.
Keadaan Negara yang mengambil langkah utilitarian inilah yang dipertanyakan oleh Agamben. Negara sebagai penghasil Demokrasi yang mengedepankan transparasi dan keberlakuan hukum. Seolah-olah absen dalam tugasnya. Keabsenan peranan Negara dengan tangan panjang hukum inilah yang menjadikan, pihak minoritas sebagai Homo Sacer. Ia terinklusi kedala hukum sekaligus tereksklusi. Ia dengan status kewargaannya, den dengan segala kewajibannya, seharusnya memporoleh hak yang sama, yaitu perlindungan hukum dari represi, kekerasan dan penelantaran. Tetapi apa daya, negara mengambil jalan tengah yang berbeda dengan prinsip-prinsip Demokrasi dan HAM.
HAM, yang menjadi benteng terakhir dari manusia juga ikut dikesampingkan. HAM yang mempunyai ukuran manusia sebagai tujuan dan akhir dari suatu keber-hak-kan, menjadikan manusia sebagai manusia sacral, yang tak boleh disentuh, dan semua makhluk di dunia, setelah ia lahir kedunia mempunyai hak yang sama. Kesetaraan hak inilah yang menjadi basis perlawanan kaum minoritas dalam menghadapi kaum mayoritas.
Dalam kasus Indonesia termutakhir, atau dalam kurun waktu pasca GESTAPU, Indonesia banyak mengalami inkonsistensi dalam menegakkan keadilan HAM. Awal-awal demokrasi Pancasila, rakyat Indonesia sudah disuguhkan dengan tragedi penghapusan tubuh PKI di setiap insan warga negara. Setiap siapa saja yang bersentuhan langsung maupu tidak langsung dengan PKI akan disingkirkan oleh negara, bahkan di bunuhnya. Kejadian ini, mendapat raport merah dari berbagai negara di dunia, kejadian yang hamper setaraf dengan Genosida.
Tak lama setelah kejadian lengsernya Orba, atau bahkan sebelumnya atau tepat pada detik-detik lengsernya Orba, Indonesia disuguhkan dengan kekacauan yang menindas komunitas Tionghoa di Indonesia. Represi, penjarahan, pemerkosaan dan pembunuhan menimbulkan luka yang kurang sedap di terima. Kasus komunitas Tionghoa inilah yang menjadi bukti nyata HAM di Negara Indonesia menjadi PR besar untuk ditegakkan.
Dan tak hanya kasus PKI dan Komunitas Tionghoa, kasus Ahmadiyah, dan kasus terhadap Penghayat Kepercayaan tak luput dari telaah Agus Sudibyo.
Kasus Ahmadiyah dan kasus penghayat kepercayaan mempunyai kasus yang sama tapi dalam domain yang berbeda. Kasus ahmadiyah, terjadi karena adanya ketidak cocokkan antara prinsip Teologi kaum Islam dengan Ahmadiyah. Meskipun Ahmadiyah adalah aliran dalam Islam, tetapi kaum muslimin menganggap Ahmadiyah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Islam tidak mengenal yang namanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, tetapi berbeda dengan Ahmadiyah, mereka menganggap ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Perbedaan inilah yang menjadikan gejolak dan benturan diantara sesama Muslimin.
Berbeda lagi, denngan kasus Penghayat Kepercayaan, penghayat kepercayaan yang secara demografi adalah warga negara Indonesia, tetapi mendapat perlakuan tidak seperti warga negara. Seperti halnya, pemerintah menetapkan Agama resmi yang baku pada setiap KTP yaitu 6 Agama resmi. Selaras dengan hal tersebut penganut kepercayaan yang sebagian besar bahkan semuanya masih menganut kepercayaan tradisional dipaksa memilih satu dari ke-enam Agama resmi yang ditetapkan oleh Negara. Dengan pemaksaan untuk memilih inilah Negara sudah melanggar hukum dan HAM, memaksa artinya merepresi, merepresi artinya memberangus hak warga, yaitu hak untuk memilih secara pribadi.
Terberangusnya hak memilih inilah bukti nyata bahwa Negara hadir bukan untuk melindungi atau mengayomi, tetapi menelantarkan warganya dengan ketentuan kalau tidak memilih salah satu dari Agama resmi tidak dapat terinput dalam data base Negara. Tidak terinputnya data diri warga, akan menimbulkan pelayanan negara seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan bantuan sosial menjadi tidak terslurkan. Dengan tidak tersalurkannya fasilitas Negara, seolah-olah Negara berpaling tangan dari hukum yang menyatakan bahwa Negara harus melindunginya
0 Comments