MARTIN HEIDEGGER: Memahami Dan Persoalan-Persoalan Di Belakangnya

 


MARTIN HEIDEGGER

Memahami Dan Persoalan-Persoalan Di Belakangnya

Oleh: M.A.H

 

 

Tak jarang kita tercelatuk seenaknya berbicara tentang persoalan yang di luar kesadaran kita. Ambillah contoh perbedaan antara memahami dan mengetahui. Orang kadang tidak sadar perbedaan antara memahami dengan mengetahui. Barang tentu mereka akan menyandingkan kedua kata tersebut sebanding lurus apa maknanya. Tetapi sebenarnya keduanya beda pengertiannya namun hampir sama maknanya.

Katakanlah, ada teman yang berkomentar, “mengetahui itu ya memahami, memahami itu ya mengetahui” itu katanya. Tapi tunggu dulu, apakah maksudnya seperti itu? Terlalu naif rasanya bila kita menyandingkan kata tersebut sebanding.

Memahami ialah suatu proses penerimaan yang sana menuju ke kita dan kita mencoba menerima yang disana tersebut dan menginterpretasikannya. Sebelum kita mengeluarkannya dalam bentuk olahan interpreatsi, untuk mencapai taraf apa itu memahami, kita dilibatkan di dalam suatu proses ber-empati atau ikut merasakan apa yang terjadi. Contoh, bila kita mau memahami katakanlah, kejadian pencemaran sungai yang terjadi di suatu wilayah akibat dari pabrik pindang, ya, kita harus terjun dan ikut merasakan yang apa yang terjadi di masyarakat tersebut. Boleh dikatakan memahami ialah suatu proses internalisasi perasaan yang di luar diri lalu di masukkan ke dalam diri sehingga kita ikut merasakan apa yang terjadi.

Sedangkan mengetahui ialah kegiatan mencari suatu informasi untuk menambah wawasan. Dalam hal ini tentu kita bertanya-tanya, bukanlah kegiatan mencari itu juga merupakan suatu proses? Ya, memang itu merupakan suatu proses, tapi, perbedaannya ialah memahami sudah barang tentu mengetahui, tapi mengetahui belum tentu memahami. Grand desain yang membedakannya ialah ada di ber-empati (ikut menjadi (bagian)). Dengan ada penjelasan begitu, jelas bagi kita, untuk mengetahui apa perbedaan antara “memahami dan mengetahui”.

Sekarang apakah kita harus selalu memahami agar dapat menjadi bagian dari apa yang terjadi? Jawabannya iya atau tidak. Harus jelas dulu duduk perkaranya, bila kita sebagai hakim yang menangani suatu kasus, agar kasus tersebut dapat diputuskan dengan kebajikan, maka tentu haruslah sang hakim untuk memahami problem yang terjadi dari sang terdakwa. Apabila hanya sebagi pemantau atau penonton cukuplah untuk mengetahui tentang duduk persoalannya saja.

Lalu apakah seorang hakim, pasti tentu bisa memahami apa yang terjadi dari sang terdakwa? Inilah kesulitan yang harus dipecahkan. Memahami bukanlah persoalan yang remeh temeh, memahami ialah pesoalan yang menguras banyak pikiran dan tenaga. Kalau sebagai hakim, untuk memutuskan suatu perkara dari sang terdakwa, ia harus menelusuri secara mendalam apa persoalan yang menjeratnya, menelisik keadaan sosial ekonomi sang terdakwa. Setelah cukup data yang diperoleh, sang hakim barulah menyandingkan dengan pasal-pasal yang menjeratnya. Dari perbandingan ini, sang hakim belum cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada sang terdakwa. Ia terlebih dahulu harus melepaskan keterikatan situasi dari sang terdakwa. Setelah itu barulah sang hakim se-objektif mungkin menarik keputusan kepada sang terdakwa.

Begitulah seharusnya kita mengambil suatu keputusan. Jadi mengambil suatu keputusan secara tidak sadar adalah proses memahami apa yang ada diluar diri kita. Yang hasilya harus fair, atau tidak merugikan orang lain.

Untuk persoalan merugikan atau tidaknya, ini yang menjadi persoalan kemudian. Belum tentu adil di kita adil juga di orang lain. Pastilah ada mengganjal atau suatu unek unek dari suatu keputusan. ambillah contoh, ada dua orang alumni mahasiswa, mereka berjuang bersama sampai suatu saat mereka dihadapkan di suatu kondisi sulit, mereka harus ada yang gugur dalam tes wawancara disuatu perusahaan, karena perusahaan tersebut hanya memilih satu yang terbaik. Kalau kita boleh berpikir positif, pastilah keputusan itu diambil sudah melalui prosedur yang ketat, dan memang benar-benar kompeten yang dipilihnya. Itu contoh dimana mereka berdua saling beradu secara objektif. Yang artinya mereka datang dari jauh dan tidak mengenal siapa-siapa di perusahaan tersebut.

Berbeda lagi dengan perpolitikan, katakannlah politik ialah jalan, jalur, angkutan, yang tujuannya di seberang sana. Yang berarti ialah hanya tumpangan yang digunakan oleh (person) untuk kedudukan tertentu, demi kebaikan bersama. Tentu jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang mudah apabila tujuannya begitu besar, pastilah ada kerikil yang menghalang, dan kerikil inilah yang harus dilalui, disingkirkan dan bila mungkin dihilangkan. Kata dilalui, disingkirkan, dihilangkan, mungkin kata yang kurang begitu nyaman ditelinga kita. Kadang kadang ada beberapa oknum yang ngeyel menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Oknum oknum yang menghalalkan segala cara inilah, yang menurut saya ialah disorientasi atau kehilangan arah. Ia tidak lagi mempunyai tujuan, ia gagal memahami apa yang menjadi akar tujuan didirikannya tujuan (negara). Tapi kita kembalikan lagi ke tujuan yang mulia. Ialah kebaikan bersama, dalam hal ini, ada masyarakat banyak yang harus dipuaskan, diberikan kenyamanan dan kemanfaatan.

Jadi sebelum kita berpolitik dalam hal ini politik praktis, kita harus terlebih dahulu menyelami arti memahami, memahami apa? Secara person memahami tentang tujuan berpolitik, secara universal memahami tujuan politik untuk memuaskan masyarakat banyak. Bila berpolitik hanya sekadar ikut ikutan, maka hanya menjadi seorang hamba ditali oleh seorang tuan.

 

 

Post a Comment

0 Comments