Prosa: Orang-orang Yang Tidak Pada Tempatnya

   

      

   Dear Lily,

            Lily ku yang tersayang,

            Selamat pagi,

Selamat bertemu lagi pada kamis yang cerah ini. Selamat bertemu pada pena putih yang bahagia ini, yang akan menuliskan rentetan keluh kesahku untukmu. Yang akan menandakan bahwa aku masih mengunjungimu dalam mimpimu.

Lily ku yang aku banggakan, aku akan mengawali cerita ini dengan sebuah kalimat

“salahkan bila aku mengenyahkan hasratku untuk merdeka dan berjuang dengan mereka untuk menggapai cinta. Bukankah setiap perasaan akan mengenyahkan perasaan lain ketika mereka bertemu dengan dilema”.

Lily,

Cerita ini aku awali ketika aku  membukakan tirai derap langkahku untuk menuju kepada kebebasan. Aku sadari bahwa aku bukan seorang yang pandai membuka setiap kemungkinan dalam hidupku. Bukan seorang yang pandai merangkaikan setuah tangkai cerita dan merangkainya dalam bait sejarah. Tapi aku mengawali cerita ini dengan dada terbuka dan senyum bahagia kepada dunia.

Sore itu, aku melangkahkan kakiku pada sebuah gubuk reot di pinggir telaga, ditumbuhi tumbuhan belukar lengkap dengan ikan kecil didalamnya. Aku melihat gunung-gunung gemulai ria menafsirkan keindahaanya. Aku duduk di pinggir bambu sambil menatap mega mengerucutkan sinarnya. Aku lihat orang-orang bersenda gurau  menghangatkan cerita harinya, ada yang menghela nafas dengan ratapan kepiluannya, ada juga yang riang gembira tertawa dengan cegagak an tawanya.

Tak lama aku memandang mega itu.

Datanglah seorang lelaki muda, berbadan tegap, berbaju rapi layaknya pegawai kantoran. Sebut saja namanya Elan. Seorang sarjana muda dengan cumlaude predikatnya. Ia seorang sarjana yang tak kenal menyerah dalam merumuskan roda hidupnya, memandang positif setiap detik harinya. Dia duduk tepat didepanku dengan pena hitam di tangan kanannya. Dan ia memulai bicara dengan kata:

“Bagaimana masa depan nasibmu, nak?

            Sontak aku menjawab, “siapa yang tahu, bukankah kita diciptakan untuk menjalani kehidupan ini?”

            “Iya, betul. Tapi setidaknya engkau tahu harus bagaimana engkau kelak, agar hidupmu menjadi terarah”.

            “Iya, aku setuju denganmu, tapi apakah engkau tahu sesungguhnya kita sedang disetir oleh tangan-tangan kuat”.

            “Maksudmu?”

            “Engkau tak tahu rupanya. Asal engkau tahu, kita semua sedang disetir oleh sang penguasa. Sehebat apa engkau merencanakan nasibmu, tapi engkau takkan mampu menghancurkan sang penguasa”.

            “Bagaimana mungkin itu terjadi? Bukankah setiap hari kita yang menjalani hidup kita?”

            “Ya, memang. Tapi, mereka dengan mudah menghadirkan sesuatu yang tak kasat mata untuk menyalakan lentera di siang bolong. Diam-diam mereka menghancurkan kita dengan doktrin-doktrin yang tak seharusnya dicetuskan”.

            “Maksudmu? Kita dibodohi oleh mereka?”

            “Iya, tepat sekali. Kita ambil contoh yang paling simple saja. Engkau minum dengan apa? Dengan air kan? “

            “Iya”

            “Lihatlah, sekarang kita harus membayar untuk menggunakan air, meminumnya juga harus membayar, kita punya rumah berdiri di atas tanah kita sendiri menjulang tinggi dengan hasil jerih payah kita sendiri, tapi anehnya mereka memungut pajak dari kita dengan dalih mengamankannya agar kita tak diperkarakan”

“Memang aneh, tapi semua harus berdiri tegak di atas kaki sendiri, kita harus mengalami dan menjalani dengan sepenuh hati”.

“Iya memang”.

            Di tengah-tengah perbincangan itu, Lily. Datanglah Zull, ia adalah teman karibku yang menemaniku disetiap jengkal langkahku. Ia adalah seorang yang berpikiran revolusioner, memandang semua dengan skeptis dan radikalis. Dia meragukan setiap kebijakan Pemerintah dalam mengambil keputusan, baik itu kebijakan yang bersifat menguntungkan rakyat maupun merugikan rakyat. Baginya, selalu ada kepentingan yang menguntungkan salah satu pihak dalam setiap pengambilan keputusan itu.

            Pernah suatu ketika aku ber-adu argument dengan dia. Saat itu aku mendukung kubu Petahana dalam melakukan kebijakannya. Tetapi Zull bertolak belakang dari padanya, ia beranggapan bahwa setiap kekuasaan yang dipegang oleh kubu yang menang pasti punya kehendak untuk menguasai sesuatu yang menjadi lawannya. Entah itu dalam sekala kecil maupun dalam sekala yang besar. Tetapi menurutku, kehendak untuk berkuasa itu tetap adanya, setiap insan pasti menginginkan untuk berkuasa, tetap mempunyai hasrat untuk menguasai orang lain tapi kita harus optimis dengan semuanya untuk menyingkirkan stigma stigma negatif dalam diri kita.

            Begitulah Zull mendendangkan argumentnya. Ia adalah seorang yang sinis kepada penguasa. Kesinisannya membuat ia memilih jalan sunyi, yang mengantarkan dirinya ke penghilangan diri. Atau lebih tepatnya penghilangan identitas diri. Dengan hilangnya identitas diri pada manusia ia bisa melakukan segala hal dalam hidupnya. Kita bisa ambil contoh orang gila. Aku tidak menyalahkan dan meminggirkan dia (orang gila) tapi aku mengagumi perilakunya, dengan santainya ia mencurahkan aktivitas energinya tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Ia bak penari di atas panggung, ia dengan sangat gemulai memerankan perannya sebagai manusia. Ia merasa bebas dari jerat moral dan hukum.

            Malah kitalah sebagai manusia yang normal menghardiknya, mengejeknya, menertetawakannya. Laiknya ia seperti orang yang kurang normal. Tapi itu bukan masalah baginya, sebab kekecewaan, kebencian, dan keegoisan yang ada di tubuhnya sudah ia musnahkan. Aku juga heran, dengan mereka yang mengejeknya, apakah mereka sudah bermoralkah?

            Tapi, kita tidak boleh menghaturkan prasangka kepada orang lain, karena orang lain mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan kita. Kitalah yang harus berbenah diri, mencoba untuk mengatur keselarasan diri dengan jalan harmonisasi. Dengan jalan itulah kita bisa menyatukan diri dengan semesta.

            Orang-orang yang tidak bisa selaras dengan semesta inilah yang bisa merusak dan menodai dunia kita. Salah satu contohnya ialah perbuatan merusak alam, korupsi, pembantaian, perang dan lain sebagainya.

            Dan masih banyak lagi contoh yang dapat aku jelaskan kepadamu, tapi kini aku akan menyoalkan tentang pejabat kita yang sedang meranyakan hari rayanya. Hari raya yang ditandai dengan duka. Duka yang membawanya kepada gerbang besi. Hanya besi-besi inilah yang bisa menahan laju hasratnya. Dengan terbendungya hasratnya ia, seperti sapi yang sedang dikeluh lehernya.

            Aku beranggapan orang seperti itulah yang senyatanya orang gila. Gila terhadap hasratnya, gila terhadap pemenuhan jasadnya.

Oh…iya. Orang yang sedang aku bicarakan ini adalah seorang koruptor yang tega membelokkan uang rakyat sebagai pemegang sah dari uangnya, ke saku pribadinya. Ia tega menelantarkan rakyat yang ia junjung tinggi, tapi ia jatuhkan ke dalam jurang.

            Dalam hal ini, ia tak bisa berpikir apakah dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Ia dengan bangga menenteng gelar koruptor dan masih bisan tersenyum kepada khalayak ramai.

            Sekali lagi, aku sebut dengan sebut gila orang seperti itu. Ia sudah mempertontonkan imoralitas kepada publik.

*****

Tepat saat mentari di atas aras kita, temanku yang bernama Elan menyahut dengan perkataan.

“Engkau tak boleh menghina seperti itu, bagaimanapun ia adalah pejabat kita, merekalah yang sepatutnya kita junjung dan hormati sebagai atasan”.

“Bukannya kita adalah atasan mereka?”

“Maksudmu?”

“Kita adalah raja di atas raja, Raja yang kehilangan mahkotanya”.

“Jadi kita adalah Raja”.

“Ya, kita Raja, yang tidak sadar di belenggu oleh bawahan kita”.

“Lalu bagaimana, kita melihatkan keRajaan kita?”

“Itulah PR nya”.

            Lalu, perdebatan kita berakhir setelah sangkakala dibunyikan, yang menandakan akan datangnya penyembahan.

Begitulah Lily cerita dariku untukmu, terima kasih sudah membacanya, aku harapkan engkau membalasnya dengan penuh kasih sayang. Seperti merpati yang sedang bersenggama di peraduan.

 

Dari yang kekasihmu.

 

Yang Terkasih

 

 

M. A. H 

Post a Comment

0 Comments