Sebagaimana
kita semua alami, khususnya untuk umat islam. Bahwasannya, puasa ialah
kewajiban bagi mereka yang sudah akil balig dan sudah memenuhi
syarat-syaratnya. Puasa, yang insyaallah dilakukan oleh umat islam setiap
tahunnya merupakan suatu ibadah penyucian diri, untuk penakhlukkan rasa ego dan
amarah dalam diri, hingga terciptanya pribadi yang luhur. Proses penyucian dan
penakhlukan rasa ego dan amarah, tak akan mungkin bisa terjadi apabila kita
tidak mau menekan dengan jalan melerakan yang menjadi kebiasaan kita
sehari-hari sedikit ditekan agar tidak memuncak seperti biasanya.
Penekan secara
lahiriah maupun batiniah diperlukan guna mengharmoniskan antara yang dhohir dan
yang batin. Secara dhohir dapat ditekan dengan jalan menunda makan dan minum di
kala siang hari. Secara batin, memperbanyak kebiasaan-kebiasaan religious seperti
ibadah sholat wajib dan sunnnah, membaca ayat-ayat suci al qur’an, hingga
berbuat baik kepada sesama.
Penyatuan perbuatan
antara yang fisik dan non fisik inilah yang dapat mengharmoniskan antara yang
dhohir dan yang batin. Perilaku kita sesuai dan selaras dengan lingkungan
masyarakat serta adat kebiasaannya, sedangkan batin kita merasa lega dan puas
karena merasa tersalurkannya hasrat batin yang bermuara pada kebaikan.
Penyatuan antara
yang dhohir dan yang batin, dan dilakukannya secara ikhlas dan pasrah diri pada
Yang Maha Esa, dan dijalankan secara semangat tanpa ada keraguan sekalipun. Itu
menandakan puasa sebagaimana perintah yang tertera dalam Al Qur’an sudah
dilaksanakan dengan hati. Melaksanakan dengan penuh kesukarelaan, dan kerelaan
hati dan pikiran.
Kesukarelaan
dan kerelaan hati itulah yang dapat memampukan diri pada penyatuan antara
nikmat puasa dengan penahanan diri dari haus dan lapar. Haus dan lapar tidak
menjadi kendala lagi apabila puasa itu dilakukan dengan hati yang rela. Rela menahan
rasa haus dan lapar, hingga rasa sakit (sakit batin).
****
Penakhlukan
Penakhlukan,
secara harfiah ialah penundukkan suatu hal agar mampu dikendalikan sebagaimana
mestinya untuk diarahkan kepada yang diharapkan. Penakhlukan yang dalam arti
lain ialah siapa mampu menyetir atau mengendalikan yang lain. Untuk dapat
mengendalikan suatu hal, entah berupa dhohir maupun batin. Seseorang harus dulu
atau mampu menyamakan frekuensi dengan apa yang akan dikendalikannya. Apabila kita
mau sejalan dengan apa yang kita tuju, maka kita harus dulu mengetahui dan
paham kemana arah tujuannya.
Puasa sebagaimana
sebagai penakhlukan hawa nafsu, dapat dikatakan sebagai frekuensi untuk
menyelaraskan antara nafsu buruk dengan nafsu yang baik. Atau menyelarasakan
perbuatan buruk dengan perbuatan jelek.
Salah satu
cara melakukan penakhlukan ialah dengan cara menekan, apa-apa yang menjadi
jalan dari nafsu buruk tersebut. Ambillah contoh nafsu buruk tersebut ialah
memaki-maki orang. Dengan cara menekan ego kita untuk memaki-maki orang kita
mampu menyelaraskan antar yang haq dan yang batil.
Penekanan tersebut
di tambah lagi dengan puasa, yang artinya menekan secara lahiriah dan batiniah.
Menekan secara fisik maupun non fisik, dan mendamaikan keduanya pada frekuensi
yang sama, sehingga dapat menciptakan keharmonisan antara keduanya.
(F.H.S)
0 Comments