Puasa Diri, Puasa dari Hati, hingga Penakhlukan


Foto: https://pin.it/3ohvIET

Sebagaimana kita semua alami, khususnya untuk umat islam. Bahwasannya, puasa ialah kewajiban bagi mereka yang sudah akil balig dan sudah memenuhi syarat-syaratnya. Puasa, yang insyaallah dilakukan oleh umat islam setiap tahunnya merupakan suatu ibadah penyucian diri, untuk penakhlukkan rasa ego dan amarah dalam diri, hingga terciptanya pribadi yang luhur. Proses penyucian dan penakhlukan rasa ego dan amarah, tak akan mungkin bisa terjadi apabila kita tidak mau menekan dengan jalan melerakan yang menjadi kebiasaan kita sehari-hari sedikit ditekan agar tidak memuncak seperti biasanya.

Penekan secara lahiriah maupun batiniah diperlukan guna mengharmoniskan antara yang dhohir dan yang batin. Secara dhohir dapat ditekan dengan jalan menunda makan dan minum di kala siang hari. Secara batin, memperbanyak kebiasaan-kebiasaan religious seperti ibadah sholat wajib dan sunnnah, membaca ayat-ayat suci al qur’an, hingga berbuat baik kepada sesama.

Penyatuan perbuatan antara yang fisik dan non fisik inilah yang dapat mengharmoniskan antara yang dhohir dan yang batin. Perilaku kita sesuai dan selaras dengan lingkungan masyarakat serta adat kebiasaannya, sedangkan batin kita merasa lega dan puas karena merasa tersalurkannya hasrat batin yang bermuara pada kebaikan.

Penyatuan antara yang dhohir dan yang batin, dan dilakukannya secara ikhlas dan pasrah diri pada Yang Maha Esa, dan dijalankan secara semangat tanpa ada keraguan sekalipun. Itu menandakan puasa sebagaimana perintah yang tertera dalam Al Qur’an sudah dilaksanakan dengan hati. Melaksanakan dengan penuh kesukarelaan, dan kerelaan hati dan pikiran.

Kesukarelaan dan kerelaan hati itulah yang dapat memampukan diri pada penyatuan antara nikmat puasa dengan penahanan diri dari haus dan lapar. Haus dan lapar tidak menjadi kendala lagi apabila puasa itu dilakukan dengan hati yang rela. Rela menahan rasa haus dan lapar, hingga rasa sakit (sakit batin).

****

Penakhlukan

Penakhlukan, secara harfiah ialah penundukkan suatu hal agar mampu dikendalikan sebagaimana mestinya untuk diarahkan kepada yang diharapkan. Penakhlukan yang dalam arti lain ialah siapa mampu menyetir atau mengendalikan yang lain. Untuk dapat mengendalikan suatu hal, entah berupa dhohir maupun batin. Seseorang harus dulu atau mampu menyamakan frekuensi dengan apa yang akan dikendalikannya. Apabila kita mau sejalan dengan apa yang kita tuju, maka kita harus dulu mengetahui dan paham kemana arah tujuannya.

Puasa sebagaimana sebagai penakhlukan hawa nafsu, dapat dikatakan sebagai frekuensi untuk menyelaraskan antara nafsu buruk dengan nafsu yang baik. Atau menyelarasakan perbuatan buruk dengan perbuatan jelek.

Salah satu cara melakukan penakhlukan ialah dengan cara menekan, apa-apa yang menjadi jalan dari nafsu buruk tersebut. Ambillah contoh nafsu buruk tersebut ialah memaki-maki orang. Dengan cara menekan ego kita untuk memaki-maki orang kita mampu menyelaraskan antar yang haq dan yang batil.

Penekanan tersebut di tambah lagi dengan puasa, yang artinya menekan secara lahiriah dan batiniah. Menekan secara fisik maupun non fisik, dan mendamaikan keduanya pada frekuensi yang sama, sehingga dapat menciptakan keharmonisan antara keduanya.

(F.H.S)

Post a Comment

0 Comments