Bisa dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah filosof muslim pertama dalam dunia pemikiran Islam yang memperkenalkan burhan shiddiqin. Tetapi Mulla Shadra tidak menerima bahwa burhan yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina tersebut secara substansial tergolong ke dalam burhan shiddiqin. Walaupun pada akhirnya Mulla Sadra, dengan pendekatan yang bersifat toleran, menganggapnya sebagai burhan shiddiqin.
Selanjutnya, Mulla Shadra memperkenalkan burhan shiddiqin yang dikonstruksinya sendiri. Untuk memahami burhan shiddiqin versi Mulla Shadra, diperlukan beberapa pendahuluan berkaitan dengan prinsip-prinsip burhan tersebut. Setelah itu, kita akan menjabarkan bentuk dari argumennya.
Adapun pendahuluan-pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:
Kehakikian Wujud (Ashâlah al-Wujud)
Yakni, setelah kita menerima bahwa terdapat realitas di alam luar, dan yang merupakan realitas hakiki dan kenyataan itu adalah eksistensi bukan kuiditas. Dalam hal ini, kuiditas hanyalah bersifat majazi dan hadir setelah eksistensi. Kuiditas hanya “berwujud” di alam pikiran saja. Dengan ungkapan lain, kuiditas adalah batasan wujud.
Gradasi Wujud
Teori kehakikian wujud itu sendiri terbagi dalam beberapa teori:
Pertama: Wujud-wujud itu secara esensial saling bertentangan satu dengan lainnya secara diametral dan horizontal. Pandangan ini dianut oleh filosof peripatetik.
Kedua: Wujud yang hakiki (ashalah) hanya pada Wâjib al-Wujud dan bermakna bahwa zat Tuhan adalah hakikat wujud itu sendiri. Tetapi yang hakiki pada wujud-wujud kontingen (mumkin) adalah kuiditas (mahiyyah). Pandangan ini diperkenalkan oleh filosof Ilahi Dawwani.
Ketiga: Semua realitas wujud, mulai dari wujud yang berintensitas lemah hingga yang berintensitas kuat, baik wujud sebab maupun wujud akibat, semuanya merupakan satu hakikat wujud yang bertingkat dan berjenjang (gradasi, tasykik). Perbedaan dalam tingkatan wujud dan persamaan dalam wujud, semuanya kembali pada satu hakikat wujud. Teori ini digagas oleh filosof Ilahi Mulla Shadra.
Simplisitas Wujud (Besâthat al-Wujud)
Wujud tidak mempunyai bagian-bagian dan wujud bukan bagian dari sesuatu. Sebab tak ada sesuatu kecuali wujud itu sendiri.
Hakikat Wujud adalah Mustahil Tiada
Ketiadaan wujud, tidak bermakna bahwa wujud itu menerima ketiadaan. Melainkan berarti bahwa keterbatasan wujud-wujud khusus (baca: wujud kontingen). Hadirnya “ketiadaan” pada wujud kontingen karena watak aslinya yang bersifat kekurangan, kelemahan, dan kebergantungan. Jadi, wujud akibat secara esensial mempunyai kekurangan dan keterbatasan dibandingkan dengan sebabnya. Ketiadaan di sini bisa dimaknai kekurangan, kelemahan, ketaksempurnaan dan kebergantungan wujud akibat.
Dengan memahami pendahuluan-pendahuluan di atas, maka kita dapat merumuskan argumen shiddiqin berdasarkan mazhab filsafat Mulla Shadra sebagai berikut ini:
Segala sesuatu yang maujud di alam luar maka ia Wâjib al-Wujud atau mumkin al-wujud (wujud kontingen). Jika wujud itu adalah wujud sempurna dan tingkatan wujudnya paling tinggi, tidak ada baginya kekurangan dan tidak bergantung pada wujud lain, maka wujud tersebut adalah Wâjib al-Wujud. Dan sebaliknya, jika suatu wujud memiliki kekurangan dan tak sempurna, maka realitas wujud ini niscaya bergantung pada wujud hakiki (baca: wujud sempurna). Oleh sebab itu, wujud yang paling tinggi tingkatannya, niscaya memiliki kesempurnaan tak terbatas, tak butuh dan mandiri secara mutlak. Sedangkan tingkatan-tingkatan wujud lain adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri. Dan jika tingkatan paling tinggi tak berwujud, maka niscaya tingkatan-tingkatan wujud lain juga tak akan berwujud [Mulla Shadra, Al-Asfar, Jld. 6, Hal. 14-16].☘
0 Comments