Isu kesetaran gender merupakan hal yang kini menjadi perhatian khusus di Indonesia. Pengarusutamaan gender sudah diberlakukan di berbagai lini seperti politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
Dengan begitu kesadaran masyarakat tentang kesetaraan gender di Indonesia sudah mulai di bangun. Demi mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang gender kita juga harus meneliti gender sebagai identitas, karena identitas dalam gender bukanlah sesuatu yang lahiriah tapi merupakan konstruk sosial.
Identitas dalam gender dihadirkan melalui representasi yang dibangun oleh pihak yang memiliki kekuatan secara politik dan juga para pemilik modal. Budaya pop yang diproduksi oleh pemilik modal semakin mengeksploitasi citra perempuan untuk mempengaruhi perilaku konsumen.
Sebagai dampaknya budaya pop tersebut diterima masyarakat dan dirayakan dalam bentuk visualisasi keindahan tubuh perempuan. Walaupun perempuan sudah berdaya dan mendapatkan posisi sosial yang lebih namun itu tak menjadikan perempuan bebas dari penindasan. Ketika perempuan merasa bebas untuk bersuara dan mengekspresikan diri, mereka juga ingin meninggalkan identitas wanita yang konvensional. Mereka mampu tampil di depan publik berpenampilan dengan pakaian terbuka sebagai bentuk kedaulatan atas tubuhnya.
Namun yang terjadi adalah keberadaan mereka dilecehkan dan terobjektifikasi, keberadaan perempuan ter-reduksi menjadi obyek seksual. Tentu ini adalah masalah yang terjadi di dunia nyata setiap hari. Apakah yang harus diupayakan agar perempuan terhindar dari obyektifikasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki? Mendiskusikan pertanyaan ini dalam konteks sosio-kultur Indonesia tentu menjadi suatu tantangan karena masyarakat Indonesia yang sangat multi-kultural.
Pada era kegelapan di Eropa, wanita mendapatkan citra yang sangat buruk. Pihak gereja menganggap wanita adalah agen iblis yang bisa menjerumuskan manusia. Wanita digambarkan bahawa hati mereka kosong dan bisa dimasuki oleh setan, kekosongan itu juga diasosiakan dengan alat kelamin perempuan atau lubang vagina. Ajaran tersebut memberikan justifikasi bagi laki-laki untuk memimpin dan mengarahkan wanita ke surga.
Dari sini bisa kita setujui bahwa citra perempuan dibangun oleh pemilik kuasa dilatarbelakangi suatu kepentingan.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia hingga saat ini sangat suka menilai dan memvonis orang lain. Ketika terjadi skandal yang melibatkan personel grup musik gambus Sabyan mengundang berbagai reaksi dari public. Yang menarik dalam skandal ini adalah sang vokalis Nissa Sabyan dikenal sebagai wanita yang berjilbab dan pandai melantunkan sholawat, dikarenakan citranya yang sedemikian publik merasa kecewa karena dia menjadi orang ketiga dari hubungan Iyus dan Ririe. Publik melontarkan ucapan yang pedas seperti : “Berjilbab belum tentu suci.” , “Berjilbab kok jadi PELAKOR.”, dsb.
Jika dibandingkan dengan skandal perselingkuhan yang melibatkan wakil ketua DPRD Sulawesi Utara, James Arthur, Angelica Gabriel Sepang selaku WIL (Wanita Idaman Lain) dari James menuai reaksi publik yang berbeda. Kasus perselingkuhan ini mencuat ke publik karena dianggap menyerupai dengan kisah drama korea berjudul “The World of the Married”.
Ketika identitas Angel diketahui, publik berduyun-duyun mengekspose siapakah wanita yang menjadi selingkuhan James tersebut. Masyarakat yang merasa geregetan melancarkan “public shaming” terhadap Angel. Angel dianggap tidak pantas merebut suami orang karena penampilannya yang biasa saja bila tanpa make-up, ia juga dianggap tidak memiliki status sosial yang tinggi tidak seperti istri sah James, Michaela Elisiana Paruntu yang merupakan seorang dokter dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Dari kisah Nissa dan Angel yang sama-sama menjadi wanita idaman lain bisa kita tarik kesimpulan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat. Nissa sebagai wanita yang berkerudung mendapatkan stigma kalau moralnya tidak sesuai dengan dengan jilbab yang ia pakai. Sedangkan Angel mendapatkan sebagai wanita yang murahan. Keduanya tidak mendapatkan perlakuan yang setara dikarenakan citra tubuh mereka yang berbeda.
Keinginan wanita untuk menjadi subyek dalam ranah sosial tidak didukung oleh citra perempuan yang dibangun di media. Media terus-menerus mengeksploitasi tubuh wanita, memberikan pemenuhan kepuasan seksual laki-laki dinilai sangat efektif untuk mengumpulkan audiens. Peran wanita sebagai umbrella girl, ring girl, dan Show Promotion Girl semakin memperkuat citra wanita sebagai objek seksual. Di media sosial banyak wanita juga semakin berlomba-lomba mengumbar kemolekan tubuh mereka, hal itu dilakukan dengan motif untuk membangun persona sebagai simbol seks di dunia virtual. Bagi mereka hal tersebut tidak selalu sejalan dengan jati diri mereka di kehidupan nyata.
Sehingga walaupun mengundang reaksi yang yang bermacam sampai juga dilecehkan secara verbal mereka akan tetap merasa kalau itu adalah hak mereka untuk mengekspresikan diri. Fredrickson dan Roberts (1997) membuat sebuah teori yang bernama Objectification Theory. Asumsi pusat dari teori ini adalah “...that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”. Wanita akan selalu hidup dalam budaya di mana tubuh mereka dilihat, dievaluasi dan berpotensi diobjektifikasi.
Memang kalau dilihat dari ranah ekonomi citra tubuh wanita lebih memiliki nilai ekonomis dibandingkan dengan citra tubuh laki-laki. Dengan adanya industrialisasi, visualisasi tubuh wanita bisa tersebar secara massif. Tak sedikit juga wanita yang sadar dengan nilai tubuhnya sehingga dia menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan pencapaian material. Hal inilah yang membuat objektifikasi untuk hilang dari kehidupan sosial, selama ada demand akan ada supply.
Dari pembahasan di atas bisa tarik kesimpulan bahwa identitas gender tidaklah netral. Ia dibentuk untuk menandakan suatu relasi kekuatan dan hirarki sosial. Perempuan masih tergolong sebagai kelompok rentan karena masih ada kecenderungan masyarakat untuk mengobjektifikasi perempuan. Setelah posisi wanita setara dengan laki-laki dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik, tapi identitas perempuan masih belum menunjukkan kalau mereka sepenuhnya menjadi subyek.
From : F.B
0 Comments